![]() |
Warga Sipil Di Gaza (Kiri) Warga Sipil Di Ukraina (Kanan) [Foto : United Nation) |
New York — Di ruangan megah Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, di tengah gemuruh diplomasi dan bahasa formal yang sering kali membeku, suara hati kembali menggema. Bukan hanya data dan angka yang dibicarakan hari itu, tapi juga tangisan yang tak terdengar dari lorong rumah sakit di Gaza, dan bayangan puing-puing di Kharkiv yang terus berdebu oleh ledakan.
Sigrid Kaag, Pejabat Koordinator Khusus Sementara PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah, tak sekadar menyampaikan laporan. Ia menghadirkan kesunyian Gaza ke tengah aula diplomasi itu. “Mereka tak lagi berkata ‘sampai jumpa besok’, tapi ‘sampai jumpa di surga,’” ucapnya, mengutip seorang warga Palestina. Suara Kaag nyaris pecah, bukan karena retorika, tapi karena keputusasaan yang terasa terlalu nyata.
Ia menyebut Gaza sebagai “jurang penderitaan”—bukan metafora, melainkan gambaran konkret dari blokade bantuan, serangan udara, dan anak-anak yang kelaparan. “Bantuan yang terbatas saat ini seperti sekoci setelah kapal tenggelam,” katanya, menyentil nurani yang mungkin telah terlalu lama diam di hadapan krisis kemanusiaan yang terus memburuk.
Di antara fakta-fakta, terselip kisah relawan dokter asal Amerika Serikat, Feroze Sidhwa, yang bekerja dalam gelap—secara harfiah dan simbolis. Tanpa listrik, tanpa anestesi, ia merawat anak-anak yang tubuhnya tak lagi utuh, wanita hamil yang mencoba bertahan hidup di tengah reruntuhan. Kata-katanya tak disiarkan dalam siaran berita malam, namun menjadi potret paling telanjang dari apa yang disebut 'konflik'.
Diplomasi yang Terdampar
Namun di balik tangisan, ada ruang dingin bernama diplomasi. Amerika Serikat, lewat John Kelley, tetap berdiri di sisi Israel, menyalahkan Hamas dan menolak seruan untuk gencatan senjata total. Sementara itu, Inggris menyebut tindakan Israel “sangat tidak proporsional”, dan Aljazair menyuarakan kemarahan, menyalahkan dunia internasional yang terlalu lama bungkam.
Palestina tak tinggal diam. Mereka tidak membawa senjata ke podium, tapi membawa luka. Luka dari keluarga yang hilang, sekolah yang rata dengan tanah, dan masa depan yang kini tampak lebih menyerupai reruntuhan daripada harapan.
Israel, dalam pembelaannya, menyebut bahwa bantuan tetap berjalan, dan menuduh Hamas sebagai pihak yang menghalangi distribusinya. Kata demi kata menjadi tameng, bukan lagi jembatan.
Dari Timur Tengah ke Eropa Timur: Bayang-bayang Perang Tak Mengenal Batas
Dari Gaza, perhatian beralih ke Ukraina, di mana perang memasuki babak baru yang makin kelam. Rosemary DiCarlo, Wakil Sekjen PBB, menyampaikan situasi di Ukraina dengan kalimat yang berat: “Harapan untuk solusi damai masih ada, tapi nyaris padam.”
Akhir pekan lalu, puluhan warga sipil tewas dalam serangan skala besar. Kyiv dan Kharkiv, dua kota besar yang dahulu riuh oleh kehidupan, kini sunyi oleh trauma. Infrastruktur hancur. Akses kemanusiaan hampir tak ada. Lisa Doughten dari OCHA mengungkap bahwa hanya 25% dana kemanusiaan yang dibutuhkan pada 2025 telah tersedia, sementara 1,5 juta orang hidup dalam kegelapan dan kesunyian.
Seperti cermin dari Gaza, Ukraina juga menjadi panggung perang narasi. AS menyebut invasi Rusia sebagai “kesalahan strategis”, Rusia menuduh Ukraina memanipulasi citra demi kepentingan politik. Dan di tengah silang kata itu, Khrystyna Hayovyshyn dari Ukraina berdiri dengan satu kalimat yang menggema: “Perdamaian yang dicapai dengan mengorbankan prinsip tidak akan menghentikan perang.”
Antara Mikrofon dan Nyawa
Ruang Dewan Keamanan hari itu bukan hanya menjadi tempat perdebatan. Ia menjadi panggung di mana suara-suara dari tanah-tanah yang retak mencoba menembus tembok diplomasi. Gaza dan Ukraina, dua konflik berbeda, namun diikat oleh satu benang merah: penderitaan manusia yang terlalu sering dilupakan di balik jargon-jargon kebijakan.
Dan dunia, seperti biasa, masih bergulat antara memilih keberanian untuk menghentikan kekerasan, atau kenyamanan dalam sikap hati-hati yang tak pernah cukup.