Dedi Mulyadi: Rakyat Tak Peduli Sentralisasi atau Desentralisasi, yang Mereka Butuhkan Hanya Kesejahteraan!

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berpidato dalam acara Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia (ADPSI) dan Asosiasi Sekretariat DPRD Provinsi Seluruh Indonesia (ASDEPSI) [Foto: Dok. Pemprov Jakarta]


Bandung
— Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menegaskan pentingnya keadilan fiskal dan peran strategis DPRD dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, saat membuka Musyawarah Nasional Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia (ADPSI) dan Asosiasi Sekretaris DPRD Provinsi Seluruh Indonesia (ASDEPSI) di Gedung Sate, Senin (5/5/2025).

Dalam pidato bernada reflektif dan penuh sindiran, Dedi menyampaikan bahwa rakyat tidak peduli apakah negara menerapkan sistem sentralisasi atau desentralisasi. “Esensi dari rakyat terhadap kita ekspektasinya cuma satu. Apapun judulnya, apakah mau sentralisasi, apakah mau desentralisasi, apakah mau otonomi, mereka cuma nuntut satu. Mereka hidup sejahtera.” ujarnya. Menurutnya, indikator utama kesejahteraan rakyat adalah jaminan kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja.

Dedi juga menyoroti peran negara dalam menjamin pelayanan kesehatan. Ia mencontohkan bagaimana sebuah keluarga bisa jatuh ke dalam jurang kemiskinan hanya karena salah satu anggotanya jatuh sakit dan tidak tercover BPJS.

Ia menyinggung fenomena kriminalitas remaja yang marak belakangan ini, terutama tawuran geng remaja yang viral di media sosial. Menurutnya, negara tidak bisa hanya menyerahkan penyelesaian kasus pada proses hukum dan orang tua. “Maka negara harus hadir untuk mencari solusi. Satu, solusi terhadap pembiayaan rumah sakit. Dua solusi recoy terhadap anak-anak yang berkelahi itu karena itu anak bangsa. Inilah negara harus punya pikiran out of the box.” tegasnya.

Dalam bagian lain pidatonya, Dedi berbicara lugas soal kesejahteraan anggota DPRD. Ia menyebut bahwa rendahnya honorarium menyebabkan banyak anggota DPRD harus mencari tambahan pendapatan dan membuat kinerja mereka tidak optimal. Ia mendorong sistem pemberian honorarium yang berbasis pada keaktifan rapat dan kinerja, agar DPRD lebih fokus pada tugas pengawasan dan legislasi.

“Kalau rapat komisi ada honornya, rapat paripurna ada honornya, DPRD pasti ngumpul di kantor. OPD juga akan lebih cepat dalam bekerja,” katanya. Ia bahkan menyebut bahwa banyak anggota DPRD yang hanya masuk kantor 20 hari dalam lima tahun.

Lebih jauh, Dedi menyoroti ketimpangan fiskal antar daerah di Indonesia. Ia membandingkan antara Kalimantan Timur yang memiliki sumber daya alam melimpah dan Jakarta yang menikmati dana bagi hasil karena menjadi lokasi kantor pusat perusahaan nasional. “Kalau rapat komisi ada honornya. Kalau rapat paripurna ada honornya. Kalau rapat gabungan komisi ada honornya. Kalau rapat badan anggaran ada honornya. Kalau rapat badan musyawarah ada honornya. Anggota DPRD enggak akan pergi ke mana-mana.” ujarnya.

Ia mengusulkan sistem pembangunan desa berbasis skala prioritas lintas pemerintahan (desa, kabupaten, provinsi, pusat), agar pembangunan bisa tuntas dalam dua tahun. Tahun ketiga diarahkan untuk kesejahteraan dan tahun berikutnya diarahkan untuk investasi. Menurutnya, hal ini bisa menciptakan perputaran ekonomi daerah secara mandiri.

Sebagai penutup, Dedi mengajak seluruh pihak untuk memperjuangkan keadilan fiskal secara bersama, tanpa memandang latar belakang partai politik. “Tinggal pertanyaannya adalah apakah anak cucu kita ke depan akan menganggap kita pahlawan atau pengkhianat?” pungkasnya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama